Kamis, 18 April 2013

Center Java (Dieng - Jogja - Gunung Kidul)

Tahun 2012 menjadi tahun "keemasan", karena di tahun ini saya bertemu dengan banyak orang baru yang mempunyai hobi yang sama. Dan itu menjadi jembatan untuk terus menggeluti hobi saya, nge-trip.

Tahun baru cuti bersama. Yaiy! Tanpa pikir panjang, sebulan sebelumnya saya bersama sahabat saya, Andi Macdani memutuskan untuk mengikuti trip ke Jawa Tengah selama 5 hari, dari tanggal 28 Desember 2012 sampai dengan tanggal 2 Januari 2013 dengan sharing cost sebesar Rp 325.000,- untuk bus, penginapan, bensin, dan parkir-parkir di tempat wisata. Team Leader saat itu bernama Bima. Dia lah yang mempertemukan kami dalam rombongan ini. Pemimpin yang hebat adalah dia yang mampu membuat anggotanya memiliki kekompakan yang luar biasa. Dan Bima berhasil melakukannya. Bahkan dari sebelum trip itu dimulai sampai detik ini ketika saya menulis semuanya disini.

Dipenghujung akhir tahun, tepat pukul 20:00 tanggal 28 Desember 2013 kami diharuskan berkumpul di sebuah parkiran depan hotel yang saya lupa namanya. Hotel tersebut bertepatan di sebelah Plaza Semanggi. Diterpa kemacetan Jakarta, saya, Dani, dan Kak Vira yang kebetulan berangkat bareng akhirnya sampai di meeting point tersebut. Setelah 28 orang terkumpul, sekitar pukul 21:10 kami berangkat meninggalkan kemacetan Jakarta menggunakan mini bus yang berkapasitas sekitar 26 orang. Bus itu tanpa AC, lebih seperti bus metromini atau kopaja.




Niat menghindari macetnya ibu kota, di jalanan menuju destinasi pertama kami, yaitu Dieng Planteu yang berada di daerah Wonosobo, Banjarnegara - Jawa Tengah, kami pun harus bersabar "menikmati" panas dan macetnya jalanan. Maklum long weekend di akhir tahun, ya jelas saja macet! Saya sendiri memutuskan tidur selama diperjalanan.

Sekitar pukul 03:00, Sabtu 29 Desember 2013, supir bus memberhentikan perjalanannya di sebuah SPBU daerah Cirebon untuk mengambil jatah tidur. Setelah solat subuh, sekitar pukul 06:00 kami pun melanjutkan perjalanan. Hingga sekitar pukul 09:00 kami pun berhenti di sebuah rumah makan Kalisalak, di daerah Buni Ayu, Kabupaten Brebes-Jawa Tengah. Saat itu, saya dan Dani tidak makan, karena perut kenyang oleh cemilan yang kami makan selama perjalanan. 



Sekitar pukul 10:00 kami pun melanjutkan perjalanan. Dengan kecepatan 60 KM/Jam kira-kira, bus kami melaju, hingga sekitar pukul 12:30 kami melewati Purwokerto bus pun mengalami musibah, ban-nya bocor. Ditengah supir dan kernetnya menambal ban, kami pun menunggu di beberapa warung untuk sekedar makan siang dan shalat.  Saya, kak Vira, Dani, kak Anggun dan juga mamahnya menikmati sate dan es jeruk seharga Rp 17.000.


Pukul 14:10 kami kembali melanjutkan perjalanan yang masih sekitar 3 jam lagi. Padahal menurut itinerary pukul 10.00 atau maksimal pukul 13:00 kami akan sampai di Dieng. Mengesalkan memang ketika itinerary molor sekitar 9 jam dari yang sudah direncanakan oleh Bima.

Sekitar pukul 17:00 kami tiba di kabupaten Wonosobo, dan hanya tinggal beberapa ratus meter lagi katanya kami akan sampai di daratan tinggi Dieng, tempat yang menjadi alasan kami tetap menikmati perjalanan yang bikin pegal itu.

Melewati daratan tinggi, bus memacu kekuatannya untuk terus menanjak, hingga diantara bukit-bukit yang kami lewati, terbenamlah matahari itu dengan perlahan-lahan, dipadu dengan warnanya yang kuning keemasan disertai dengan hijaunya perbukitan yang mengerikan karena di kanan kiri jalan berupa jurang terjal dan tinggi, serta dinginnya tempat tersebut, kelelahan kami terbayar oleh pemandangan luar biasa itu, yup sunset-nya begitu menawan. Sebuah ketidakberuntungan yang kami syukuri, karena keindahan sunset tersebut bisa kami nikmati setelah kami nyasar menuju homestay.


Dieng merupakan daratan tinggi di Jawa Tengah, yang masuk wilayah kabupaten Banjarnegara dan Kabupaten Wonosobo. Letaknya berada di sebelah barat kompleks Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Ketinggiannya sekitar 2.000 meter diatas permukaan air laut.

Dieng berasal dari bahasa sansekerta, yaitu 'Di' dan 'Hyang'. 'Di' berarti tinggi, dan 'hyang' berarti khayangan, sehingga 'Dieng' dapat diartikan sebagai daratan tinggi yang menjadi tempat bersemayamnya para dewa dewi.

Sekitar pukul 18:00 kami pun sampai di Homestay Bougenville. Setelah mandi dan shalat, kami pun makan malam dengan ayam bakar yang telah disediakan oleh tuan rumah. Kali itu kami menyewa homestay sekaligus dengan penyediaan makan malam dan makan siang, serta mobil Carry bak terbuka yang digunakan untuk mengangkut kami menuju di gunung Sikunir.

Homestay kami terdiri dari 2 lantai dengan 5 kamar di lantai 2, serta 4 kamar mandi, dimana 2 terdapat di dalam kamar, 2 lagi di ujung lantai 2, dan 1 lagi berada di ujung lantai 1. Fasilitas yang kami dapatkan selain dapat mandi dengan air panas, juga ada sebuah dispenser yang lengkap dengan teh, kopi, dan gulanya, serta sebuah TV di ruang tengah dan balkon menghadap keluar rumah sehingga dapat melihat pemandangan di sepanjang Dieng. Karena hanya ada 5 kamar, perkamar dipergunakan oleh 4-5 orang, dan sebagian lagi ada yang tidur di ruang tengah. Homestay ini cukup nyaman dan mewah untuk para backpacker seperti kami.

Selesai makan, sekitar pukul 20:00 kami ribut-ribut ingin menikmati malamnya Dieng, tapi Bima meminta kami memanfaatkan malam itu untuk berkenalan satu sama lain, agar kami bisa lebih akrab sekaligus beliau ingin me-review hal-hal yang terjadi selama di perjalanan, serta membicarakan itinenary untuk keeseokan harinya.

Berawal dari sini, kami mengenal lebih jauh satu sama lain, dimulai dari nama, pekerjaan, status, asal, bahkan tujuan dari mengikuti trip ini. Disini saya kagum bisa berada diantara mereka, selain orangnya asik, seru, senang bercanda, terbuka, juga hebat-hebat. Pada backpacker muda ini hampir semua berdasar dari kalangan mahasiswa, karyawan, dan entrepreuner muda. Ada yang jadi mahasiswi teknik ITB, FKG UI, baru pulang dari Korea Selatan (Krakatau Posco), Jaksa di KejaGung, Banker, pegawai PLN, guru, penulis, pemilik online shop, dan pegawai-pegawai di beberapa perusahaan yang menurut saya sangat luar biasa. Serta yang paling cetar membahana adalah mamahnya kak Anggun dan Agung, yang menurut saya sudah memasuki usia sekitar 50 tahunan pun tanpa lelah mengikuti rombongan trip ini. 


Setelah malam keakraban itu berlangsung beberapa jam, sekitar pukul 22:00 kami diharuskan segera tidur. Karena dini hari sekitar pukul 03:00 kami harus bangun dari kenyenyakan kasur untuk meneguk sunrise di gunung Sikunir. Dinginnya Dieng, tidak membuat semangat kami surut untuk melihat pemandangan alam itu.

Tengah malam ini, sahabat saya, Dani berulang tahun ke-20. Kemudian terpikir ide gila untuk memberikan surprise kecil-kecilan untuknya. Namun terpaksa saya menundanya karena Indomaret di sebelah homestay sudah tutup. Yah, sayang sekali telat. Pikir saya. Padahal tadinya saya ingin membelikan kue atau roti untuk sebagai pelengkap surprise dini hari keesokan harinya sebelum ke Gunung Sikunir.

Setelah gosok mandi, cuci muka, memakai jaket, sarung tangan, dan kaos kaki, kami pun siap untuk meluncur. Karena mobil carry bak terbuka yang kami sewa hanya muat sekitar 15 orang, terpaksa rombongan dibagi dua. Saya pun masuk ke rombongan kedua, sambil menunggu saya pergunakan untuk shalat subuh terlebih dahulu setelah adzan subuh berkumandang.

Lagi-lagi saya mencari cara untuk memberikan surprise kecil untuk sahabat saya itu, tapi bagaimana? Tidak ada kue atau apapun. Sial! Pikir saya.


Sekitar pukul 04:20 pada hari Minggu, 30 Desember 2012 rombongan kedua pun akhirnya berangkat. Dua puluh menit kemudian kami pun sampai di desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di Pulau Jawa.


Di pemberhentian tersebut, kami harus berjalan menanjak sekitar 1 km sampai di Gunung Sikunir. Dengan nafas yang semakin tidak teratur saya dan Dani berlari meninggalkan teman-teman yang lain di belakang karena takut ketinggalan menyaksikan indahnya matahari terbit tersebut. Belum sampai puncak, matahari itu sudah mulai malu-malu memperlihatkan jati dirinya.

Dua puluh menit kemudian dengan nafas tersenggal-senggal akhirnya saya berhasil berada di puncak Gunung Sikunir, menyusul Dani dan teman-teman rombongan pertama yang sudah sampai terlebih dahulu. Saya tak mau melewatkan momen mewan tersebut, dengan tangkasnya saya mengeluarkan kamera DSLR saya dan mengabadikan wajah merona kemerahan matahari tersebut dengan kamera. Aaahh,, sungguh membuat rasa dingin yang semula menggelitik kulit itu menjadi sirna. Aahh,, sungguh sesak nafas yang menjadikan terengah-engah pun pupus setelah melihat fenomena matahari terbit terindah sepanjang saya lihat 23 tahun ini.










Setelah selesai berfoto ria bersama teman-teman yang lainnya, sekitar pukul 06:00 kami turun, untuk melanjutkan "pemburuan" tempat-tempat indah lainnya di Dieng. Sepanjang perjalanan turun, pemandangan yang awal pendakian tertutup gelapnya dini hari, kini dapat kami lihat dengan begitu jelasnya karena matahari. Jalanan, jurang, hutan, ranting-ranting, pepohonan dan rerumputan yang begitu indah di mata, begitu sejuk di hati. Sungguh! Saya jatuh cinta pada alam ini, matahari ini, sejuknya angin ini, dan tentunya negeri ini. Indonesia!





Sesampainya di pemberhentian tadi, saya baru benar-benar melihat ternyata sepanjang perjalanan yang saya lewati tadi itu begitu indah. Di parkiran, dimana menjadi tempat pemberhentian mobil, ada sebuah telaga, yang diketahui bernama Telaga Cebong.





Masih dengan mobil pick up, kami diantar ke destinasi selanjutnya, yaitu Kawah Sikidang. Sikidang berasal dari kata "Kidang" yang berarti "Kijang". Kenapa Kijang? Konon uap air dan lava berwarna kelabu yang terdapat di kawah ini selalu bergolak dan muncul berpindah-pindah bahkan melompat seperti Kijang. Kawah ini merupakan kawah vulkanik yang masih aktif. Berita terakhir yaitu pada 27 Maret 2013 kemarin, status kawah Timbang yang sebelumnya maspada naik menjadi siaga.

Di sekitar tempat parkir banyak sekali warung makan dan oleh-oleh. Sambil menunggu rombongan kedua, kami sarapan dulu di salah satu warung. Saya sendiri hanya memakan beberapa buat gorengan dan minum jahe hangat, karena kebetulan kak Efta membagi roti dan wafernya.

Setahu saya, ada 2 hal yang paling terkenal dari Dieng, yaitu anak Gimbal dan juga Purwaceng. Berhubung saya tidak tahu menahu Purwaceng itu minuman untuk apa. Karena penasaran, saya kemudian memesannya kepada ibu-ibu di warung, dan ibu-ibu itu dengan sedikit keheranan dan cengar-cengir berkata : "Maaf mbak, Purwaceng itu merupakan obat kuat untuk laki-laki." Sontak saya bersama-sama tertawa terbahak-bahak. Puasnya teman-teman menertawakan kepolosan saya itu, dan menjadi bahan bully-an untuk mereka. HAHAHA :|

Selesai sarapan dan "minum" Purwaceng kami memutuskan untuk menikmati kawah meninggalkan rombongan kedua. Saya memutuskan untuk membeli masker yang dijual oleh pedagang asongan, karena bau belerang yang sangat menyenat terbawa angin hingga sampai ke hidung.

Gagal memberi surprise, karena salah satu dari kami mengucapkan selamat ulang tahun kepada Dani. Yah, akhirnya tidak ada acara apapun kali itu. Kasian, ulang tahunnya menjadi tidak berkesan. Tapi semoga tempat ini menjadi kesan tersendiri untuk sahabat saya itu.

Di pagi yang cerah itu, saya jatuh cinta lagi pada latar kawah itu. Tumpukan bebatuan khasnya sebuah kawah yang diselimuti asap, dihalangi bukti hijau serta terbentang birunya langit berawan cerah. Sungguh pemandangan memukau. Tanpa aba-aba kami berfoto mengabadikannya dengan cahaya mentari pagi itu.












Setelah puas bergaya, kami memutuskan untuk segera meluncur ke destinasi selanjutnya tanpa melihat kawahnya secara dekat, karena perasaan was-was.

Oke, Telaga Warna yang menjadi salah satu tempat favorit di Daratan Tinggi Dieng menjadi tempat tujuan kami selanjutnya. Sekitar 10-15 menit dari Kawah Sikidang, Telaga Warna itu berada. Sesampainya di tempat tujuan, matahari seperti tiba-tiba "ngambek". Terhalangi awan, atmosfer menjadi sedikit mendung.

Secara ilmiah Telaga Warna adalah danau vulkanik yang berisi air bercampur dengan belerang. Warna pelangi, yaitu hijau toska, biru, ungu, dan kuning akan dibiaskan di hamparan air apabila terkena sinar matahari yang memantulkan warna karena kandungan mineralnya. Ya pantas saja telaga warna yang menjadi istimewa karena warnanya menjadi telaga biasa saja tanpa pantulan matahari siang itu.

Dengan diselimuti kekecewaan, kami memutuskan untuk mengelilingi tepian telaga, disekeliling tumbuh banyak pepohonan rindang yang membuat atmosfernya terasa sejuk. Ditambah sulur-sulur akar beserta pohon yang tumbuh tidak vertikal tetapi horizontal ke tengah telaga. Keunikan tersebut justru menjadi daya tarik tersendiri dan dijadikan tempat untuk berfoto.









Diujung jalan yang kami telusuri, mentok di sebuah area lapang luas layaknya sebuah tepian pantai yang diperoleh setelah kami harus menelusuri hutan. Berikut fotonya :


Sebelum balik arah dan siap meninggalkan tempat tersebut, matahari dengan baik hati menunjukan cahayanya. Saya sungguh exited dan tidak ingin melewatkan pantulan warna di telaga itu. Dengan menaiki sebuah batu besar yang cukup tinggi, dengan sedikit rasa takut tergelincir, saya mengabadikan panoramanya. Wuiiih wonderfull view. Ajiiib kalo bahasa kerennya. Berikut hasilnya :




Berburu dengan waktu, sekitar pukul 09:50 kami melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir di Dieng, yaitu  Komplek Candi Arjuna yang tidak jauh dari telaga warna ini. Ternyata Komplek Candi Arjuna ini tempatnya berada di tidak jauh dari homestay yang kami sewa, hanya 5 menit jika kami jalan kaki.

Komplek Candi Arjuna ini tidak begitu luas, namun disekelilingnya terbentang gunung hijau dengan langit luas yang diselimuti udara sejuk. Kawasan ini terawat, bersih dan ditanami bunga dan pohon cemara yang tertata serta rerumputan hijau yang terawat. Lagi-lagi di siang bolong saya jatuh cinta dengan tempat itu.

Di komplek ini selain Candi Arjuna yang merupakan candi utama, terdapat juga Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Nama-nama ini merupakan nama-nama tokoh pewayangan Mahabrata. Candi Puntadewa memiliki bentuk yang mirip dengan Candi Arjuna, sementara Candi Srikandi dan Candi Sembadra sedikit lebih kecil dan pendek.

Berikut foto-fotonya :
















Sekitar pukul 11:40 kami berjalan pulang menuju penginapan. Seperti sebelumnya, saya mengantri mandi, kemudian shalat, dan setelah itu makan siang. Tepat pukul 13:00, setelah selesai packing kami meninggalkan Dieng. Puas! Kata itu yang pantas untuk perjalanan saya di tempat itu.

Meninggalkan Dieng yang dingin, kami menuju Jogja. Di tempat itu kami akan berwisata budaya, selain menikmati jalanan Malioboro, menurut itinerary, kami juga akan menuju Borobudur. Berhubung waktu yang begitu sangat mepet, dengan terpaksa Borobudur batal dikunjungi.

Sekitar pukul 19:00 diguyur hujan yang cukup membuat kami kebasahan, kami diturunkan di sebuah SPBU yang tidak jauh dari penginapan. Dengan basah-basahan, kami berlari melewati gang kecil menuju penginapan. Penginapannya sangat sederhana, tidak seperti penginapan pada umumnya, kami seperti sedang "menumpang" di sebuah rumah penduduk. Diberi 2 buah kamar yang merupakan kamar penghuni rumah tersebut ditempati oleh para wanita. Sementara laki-lakinya harus mengalah dengan tidur berjejer di ruang tengah. Rumah tersebut memiliki sebuah kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur. Yah beginilah nasib menjadi Backpacker, bertahan hidup di perjalanan yang serba kesederhanaan dan kekurangan. Tapi inilah tantangan dan petualangannya. Seru!

Setelah shalat dan makan malam, sebagian dari kami, termasuk saya memutuskan untuk berjalan menyusuri malamnya Jalan Malioboro yang sangat terkenal di kota Jogja. Dengan berbekal jas ujan, payung, DSLR, sendal jepit dan juga jaket kami menyusuri lorong-lorong jalan penuh cerita itu melewati tukang jualan yang bertengger di setiap penjuru dan tepian jalan. Itu merupakan kali pertama saya mengunjungi jalan itu.

Ketika kecil saya sering mengunjungi kota ini bersama keluarga saya, tapi saya kurang ingat. Walau begitu, suasana kota ini sudah sangat familiar di pikiran saya, melalui novel "Cintaku di Kampus Biru" sang Penulis, yaitu Ashadi Siregar mendeskripsikan tempat ini begitu sangat memikat, menawan, dan melekat di pikiran saya. Sehingga tempat ini selalu menarik untuk dikunjungi.

Dari penginapan kami, Saya, Dani, Aryani, dan Hanny melewati beberapa tempat hiburan yang membuat saya sedikit "ngeri" melewatinya, maklumlah "sedang" terjadi pesta di bar dan cafe sekitaran jalan itu.

Disepanjang jalan Malioboro, kami melihat-lihat dan membeli oleh-oleh. Saya sendiri membeli kaos, gantungan kunci, dan sendal untuk teman-teman saya. Inilah esensi dan kepuasan yang tidak bisa saya lupakan. Hujan rintik-rintik, berjalan kaki, memakai jas ujan, suara musik kencang, sunyi sepi, dan bercerita mengenai kegalauan di antara kami membuat kami ber-4 semakin akrab. Sekitar pukul 23:20 kami kembali ke penginapan. Mandi dan tidur.

Senin, 31 Desember 2013 pukul 05:00 kami bangun, setelah mandi, sarapan dan siap-siap sekitar pukul 06:00 kami berangkat menuju destinasi berikutnya, yaitu Gunung Kidul yang masih berada di propinsi D.I. Yogjakarta. Gunung kidul ini merupakan daerah yang sering diasumsikan sebagai wilayah kering dan tandus. 

Sekitar 2-3 jam perjalanan (70 KM dari Jogja) kami sampai di pantai Siung yang berada di desa Purwodadi, kecamatan Tepus, kabupaten Gunung Kidul. Yaiy pantaaai~! Senang sekali rasanya setelah cukup lama tidak melihat pantai. Euforianya cukup berbeda. Panas~! Dan saatnya memakai sunblock untuk menelusuri Pantai Selatan di Pulau Jawa ini. Jalanan menuju pantai Siung ini cukup kecil, hanya cukup untuk dua mobil saja. Biaya masuk pantai ini hanya Rp 3.000 saja. 

Pantai Siung sendiri tidak luas, berpasir putih, dan airnya cukup biru, masih bersih dan jernih. Selain itu banyak bebatuan karang yang cukup tinggi, seperti di pantai Tanjung Tinggi Belitung (Tapi tidak seindah pantai itu). Itulah alasan kenapa pantai ini bernama pantai Siung. Siung berarti gigi taring. Kami menelusuri bebatuan itu hingga naik ke atas.

Sama seperti pantai-pantai lain, di tebing pinggiran pantai ini banyak warung berjejer berjualan makanan dan minuman, ada toilet, dan beberapa penginapan sederhana. Hanya saja pantai ini belum terlalu ramai dikunjungi, sehingga ketika hari itu, kami seperti berada di pulau sendiri menikmati ombak serta berfoto bersama.
















Biasanya pantai ini dijadikan tempat untuk panjat tebing, hanya saja kami tidak sempat menikmati wisata ini.

Setelah puas berfoto, kami melanjutkan perjalanan kami menuju destinasi pantai berikutnya. Yup, Pantai Indrayanti yang letaknya tidak begitu jauh dari Pantai Siung. Tarif masuk pantai ini sebesar Rp 5.000,-/orang. Pantai ini jauh lebih terkelola dibandingkan dengan Pantai Siung. Di sebrang jalan bederet penginapan. Di bukit bibir pantainya pun berjejer warung dan beberapa buah cafe dengan rapi. Di bibir pantainya sendiri berjejer payung yang disewakan. Seperti di Bali rasanya. Walau belum pernah ke Bali tapi saya sering melihat pemandangannya lewat film-film. Nama Indrayanti sebenarnya merupakan nama pemilik cafe yang ada di Pantai itu.

Karena panas yang begitu menyengat, Saya, Dani, Aryani, Hanny, Agung, kak Vira, kak Anggun dan mamahnya memutuskan untuk duduk bersantai sambil menikmati es kelapa muda dan nasi goreng di sebuah warung yang berada di bukit menghadap pantai. Dialuni lagu sedikit melow, melihat lalu lalang orang disekitar, menikmati deburan ombak, teriknya matahari, pasir yang kian berbisik, serta sejuknya angin siang itu, kami menikmati aroma pantai dengan bersantai tanpa menjamah air asinnya atau pun bermain dengan ombak. Sebagian teman-teman yang lain memilih untuk mengelilingi bibir pantai itu hingga ke bukit bebatuan yang ada di ujung pantai itu.





Sekitar pukul 13:00 setelah shalat, kami melanjutkan perjalanan menuju destinasi selanjutnya. Masih di kabupaten Gunung Kidul, kami menuju Goa Rancang Kencana yang berada di Padukuhan Menggoran II Desa Bleberan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul. View goa ini membuat saya cukup terkesima. Lagi-lagi saya suka. Harga tiket masuk wisata ini sebesar Rp 3.000,-.

Goa yang mempunyai luas 20x20 m dengan ketinggian 12 m ini memiliki sinar matahari yang cukup. Goa ini dihiasi dengan pohon Klumpit (Terminalia eduis) yang tumbuh tinggi menjulang di bawah tangga depan goanya. Goa ini sering digunakan sebagai tempat kemping atau berkemah. Di dalam Goa Rancang Kencana ini tidak bayak ornamen, hanya stalagtit yang menempel di atas atap.

Goa ini terdiri dari tiga ruangan. Yang pertama adalah ruangan luas yang bisa langsung dijumpai setelah turun tangga masuk dekat pohon besar tadi. Dari ruang yang sangat besar ini ada sebuah lubang menuju ruang kedua yang terlihat lebih sempit, namun masih muat oleh beberapa orang sekaligus. Konon tempat ini menjadi tempat orang bersemedi. Untuk memasuki ruang ketiga, kami harus merangkak melewati lubang kecil. Ruangannya sangat gelap, hanya senter yang bisa diandalkan.

Goa Rancang Kencana sendiri berasal dari 2 kata, Rancang yang berarti merencanakan dan Kencana yang berarti sesuatu yang mulia. Konon kata guide kami, dulunya doa ini merupakan tempat persembunyian Laskar Mataram dari kejaran penjajah Belanda.

Karena kebelet pipis, saya tidak sempat ikut masuk ke dalam goa bersama teman-teman yang lain. Saya hanya berfoto di depan goa ini.




Tak jauh dari Goa Rancang Kencana, kami melaju ke Air Terjun Sri Gethuk. Konon air terjun ini tidak pernah kering walau musim kemarau. Dengan perjalanan yang melewati hutan dan cukup sempit, akhirnya kami sampai. Dari tempat parkir bus, perjalanan menuju air terjun ini cukup panjang sekitar 1 KM atau 15 menit perjalanan. Tanahnya licin, becek habis diguyur hujan, serta berlumpur. Ini merupakan perjalanan kaki yang paling sulit selama beberapa hari ini. Harga tiket masuk wisata ini sebesar Rp 3.000,-/orang.

Jangan takut, di beberapa buah titik sekitar tempat ini, banyak sekali warung-warung yang menyediakan makanan dan juga beberapa buah toilet.

Air Terjun Sri Gethuk atau dengan nama lain Air Terjun Slempret memiliki keunikan tersendiri karena bercabang pada dua celah tebing dan muncul dari sela-sela tebing karst yang gersang. Air terjun ini memiliki ketinggian sekitar 80 meter dan berada di tepi Sungai Oyo. Ada tiga sumber mata air yang menyembur, yaitu mata air Dung Poh, Ngandong, dan Ngumbul. 

Konon, keberadaan air terjun ini merupakan lokasi pasar jin. Dinamai Air Terjun Sri Getuk atau Sri Ketuk karena jaman dahulu kala sering terdengar suara gamelan yang diyakini milik raja jin Slempret yang bernama Angga Mendura. Di malam-malam tertentu masyarakat sering mendengar bunyi-bunyian seperti slompret dari arah air terjun ini. Hiiiih serem ya.. :D



Sekitar pukul 17:10 kami kembali ke Jogja. Tak ada rasa lelah atau rasa kantuk, yang tersisa hanya kepuasan setelah seharian bersenang-senang di Gunung Kidul. Sungguh menjadi penutup tahun yang sempurna. 

Ketika saya terlelap tidur, saya terbangunkan oleh suara-suara teman-teman yang berdecak kagum melihat Bukit Bintang a'la Jogja yang kami lewati. Ya memang, dari atas bukit itu, kami melihat lampu-lampu terang seperti bintang berada di bawah kami. 

Sekitar pukul 21:00 kurang, kami sampai di Penginapan. Yup, malam itu adalah malah terakhir di tahun 2012. Malam yang menurut rencana akan dihabiskan di pinggir pantai dengan berkemah atau dihabiskan dengan meniup trompet dan menyalakan kembang api di jalanan Malioboro. Dan karena saat itu masih musim hujan, maka kami memutuskan untuk menikmatinyan di Malioboro. 

Setelah shalat dan mandi, kira-kira pukul 23:00 kami menyerbu kepadatan manusia di jalanan Malioboro. Tepat beberapa menit sebelum pergantian tahun, kami tiba di antara kerumunan orang yang sedang berteriak sambil menyalakan kembang api, petasan dan terompet. Seperti berlomba, mereka satu persatu menyuarakannya tanpa komando. Namun lucunya, setelah pergantian tahun berakhir, ada orang yang entah siapa menyalakan kembang api dengan bunyi yang sangat fals, membuat kami tertawa terbahak-bahak. 

Selamat tahun baru 2013! Selamat berbahagia! dan selamat karena saya tidak menyesal! Saya bahkan begitu bersyukur bisa mengikuti trip yang begitu sempurna ini. 





Kami berjalan hingga berakhir di depan kantor pos di ujung jalan Malioboro itu, tepatnya di perempatan Benteng Verdeburg. Setelah lagi-lagi menikmati malah tahun baru itu, Rabu, 1 Januari 2013, kami akhirnya berpencar untuk berwisata kuliner dan kembali penginapan. 

Beruntungnya kami mempunyai TL yang memiliki postur tubuh tinggi. Jadi ketika kami tersesat di padatnya jalanan itu, klunya adalah "Cari orang yang paling tinggi, item dan kurus". Bima saat itu kami panggil "kakak besar" seperti film Cina berseri boboho yang saya lupa judulnya. Yang jelas film itu bercerita tentang 9 anak yang dilahirkan dari butiran mutiara, namun berpisah menjadi 2 bagian. Masing-masing dari anak itu mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Lucu memang! :D

Aryani dan Dani berhenti melihat-lihat kaos, sementara Saya dan Hanny memutuskan untuk jalan lebih dulu, dan bertemu dengan kak Vira dan kak Anggun. Kami berempat memutuskan untuk membeli makan. Dan jreng jreng jreng, harga makanan yang sangat biasa itu ternyata kebilang sangat mahal. Ya mau bagaimana lagi, makan di emperan sepanjang jalanan Mailoboro memang sudah terkenal sangat mahal. 

Sekiar pukul 02:00 dini hari, kami sampai di penginapan. Pesanan bakpia kepada tuan rumah sudah menumpuk di rumah, dan tanpa rasa lelah kami membagikannya sesuai dengan pesanan. Setelah semuanya kumpul, tiba waktunya kami melanjutkan perjalanan pulang ke Jakarta. Tak menunggu pagi, pukul 03:00 kami langsung capcus. 

Ada biaya tambahan sekitar 60ribu diluar sharing cost semula. Biaya tambahan ini untuk penyewaan mobil bak terbuka, makan di penginapan, dan tiket-tiket masuk tempat wisata.

Namun di perjalanan pulang, lagi lagi sang supir bikin onar. Setelah kami berhenti di sebuah SPBU, bus kami menyalip sebuah truk yang membawa bambu, alhasil kaca spionnya patah. Dan terpaksa kami harus kembali berhenti untuk mengelas kaca spion tersebut. Dengan inisiatif Bima, kami menyumbang Rp 10.000,-/orang untuk sang supir. 

Tak berhenti disana, di tengah jalan tol, di siang bolong dengan panas terik yang mampu membuat gosong dan bermandikan sauna, ban belakang tiba-tiba bocor! Lagi! Damn..! Lagi-lagi bocor. Tapi ya sudah mau bagaimana lagi. Kami berhenti di tepi jalan sambil menunggu. Untung saja tepian itu berupa rerumputan hijau. 

Keluar dari jalan tol dengan kondisi ban yang sangat mengkhawatirkan untuk dipaksakan terus melaju, sore itu akhirnya kami berhenti untuk menambal ban, makan di sebuah rumah makan Padang, dan menumpang shalat. 

Macetpun kembali menghujam perjalanan kami. Yup..! tol Cikampek saat itu begitu sangat padat. Akhirnya dengan perjalanan 21 jam, kami sampai juga di Semanggi. Tempat yang menjadi meeting point 5 hari yang lalu. Semuanya kembali ke tempat masing-masing dengan menggunakan Taksi. Saya, Dani, dan Kak Vira yang memang searah, yaitu Fatmawati menyewa taksi yang sama. 

Perjalanan yang sangat luat biasa menyenangkannya. Tapi ini bukan akhir, ini menjadi awal. Saya kini masih sering berhubungan malah beberapa kali "jalan bareng" dengan mereka. Lebih hebohnya, Saya, Dani, Hanny, Aryani, Sari, Dewanty, Pienkie, Rizky, Fitra, Nopay, dan teman-teman kami sudah memiliki tiket PP pesawat Air Asia ke Bali pada bulan November 2013 ini. Tunggu tulisan saya yang ini di akhir tahun ya! Hehehe..

Selain sering melewatkan weekend bareng, saya, Dani, Hanny, Aryani, Sari, Rizky, Pienkie, Mellisa, Bli Wayan, Dewanty, Dini, Nopay, Novita, Novi, Agung, Kak Vira, Kak Anggun, dan Bima masih sering berkomunikasi. Dan inilah indahnya pertemanan yang kami buat hanya berawal dalam 5 hari bersama.

Kalau kata Bima : "Pergi tak kenal, pulang jadi sodara!"
Setuju papah!


Total Budget :

1. Sharing Cost pertama : Rp 325.000,-
2. Sharing Cost kedua : Rp 60.000,-
3. Makan : Rp 17.000 + 35.000 + 15.000 + .....
4. Lain-lain : Rp 100.000

Kebetulan saya lupa rinciannya, tapi seinget saya hanya menghabiskan sekitar Rp 600.000 sampai Rp 700.000,-. Hemat bukan? Yah namanya juga Backpacker!

PS : Perjalanan sama sahabat selalu bisa bikin ketawa sampe bego. Bener gak Dani? Hahahaha :p