Bulan November 2012 saya mendapatkan libur kerja yang cukup lama, sehingga saya memanfaatkannya untuk berlibur di Bandung. Tempat tujuan saya kali ini adalah Siete Cafe, Gunung Tangkuban Perahu, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda (Tahura) atau lebih terkenal dengan nama Dago Pakar, Cimahi, dan Kuliner.
Dari Jakarta saya tidak langsung menuju ke Bandung pada saat itu, Rabu malam setelah pulang kerja saya langsung pulang ke kota dimana saya dilahirkan, yaitu yang terkenal dengan kota Beras atau Tauco. Yup! Cianjur, kota kecil yang saya cintai ini.
Keesokan siangnya setelah mandi, sarapan, dan sedikit bingung berpamitan karena harus berangkat lagi ke Bandung padahal baru beberapa jam di rumah yang cuma numpang tidur, makan, dan mandi. Walau sedikit dilarang, akhirnya dengan alasan harus ke Bandung karena ada acara arisan bersama teman-teman kuliah, akhirnya diijinkan.
Perjalanan dari rumah ke Bandung ditempuh hanya dengan waktu 1,5 jam dengan mengendarai motor Mio biru kesayangan saya (apabila mengendarai mobil dengan tujuan tol Pasteur bahkan lebih cepat waktu tempuhnya).
Hari pertama saya di Bandung saya habiskan untuk acara arisan bersama sahabat-sahabat saya sampai larut malam. Kebiasaan ini selalu terjadi semenjak kami kuliah dulu. Arisan itu diadakan di Cafe Siete yang beralamat di Jl Sumur Bandung. Tempatnya sangat bagus untuk foto-foto dan nyaman, harganya pun cukup standar untuk sekelas Cafe ini (maklum sebelumnya pernah mengadakan arisan di Restaurant Sierra Dago Bandung yang harganya 2 kali lipat dibanding dengan cafe ini. Gokiiiil karena panitianya saya sendiri, hahaha!). Kebanyakan dari kami memilih menu steak dan chocolate float dan total harganya sekitar 850ribu untuk 12 orang. Cukup murah dan bikin kenyang menurut saya. Tapi yang paling istimewa adalah tempatnya cocok dijadikan tempat berfoto ria. Ya ya tujuan arisan kami kan selain bersilaturahim juga berfoto-foto, always every where, hehehe.. Setelah puas berfoto ria, ngocok arisan, bercengkrama, dan makan kami melanjutkannya dengan berkaraoke ria di Dapla (Dago Plaza).
Nih dia sebagian foto-fotonya :
Dibatasi oleh waktu yang menunjukan pukul 11 malam, akhirnya kami pun pulang. Malam itu saya menginap di rumah Arien, adik kelas kuliah yang sudah saya anggap adik saya sendiri, sudah kenal dengan keluarganya dan sudah seperti keluarga sendiri.
Hari kedua saya rencanakan untuk pergi ke Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda (Tahura) atau lebih terkenal dengan nama Dago Pakar bersama sahabat sekaligus Soulmate saya, Arini Rusya. Dan dengan sangat sadar ini adalah kesalahan kostum berpakaian bagi kami. Ada beberapa tempat yang bisa kita nikmati di Dago Pakar ini, diantaranya adalah Goa Jepang, Goa Belanda, Curug Omas, dan Relevasi taman hutannya.
Saya berangkat sekitar pukul 09:00 pagi dan janjian ketemuan di depan Mall Tirtasari, saya dari Sarijadi dan Arini dari Sukajadi. Melewati Pasteur ke arah Dago atas akhirnya sekitar 30 menit kemudian kami sampai di Dago Pakar. Untuk menikmati Taman Hutan Raya itu kami harus membayar tiket sebesar Rp 17.000/orang ditambah Rp 5.000 untuk parkir motor. Dan itu cukup mahal menurut saya, entah itu memang masuk ke kas negara atau ke kantong petugas-petugasnya. Mudah-mudahan ke kas negara ya :D
Memasuki gerbang tempat pertama yang saya kunjungi adalah Goa Belanda yang letaknya lebih dalam, sekitar 400m dari Goa Jepang. Goa ini didirikan pada tahun 1941. Di dalam gua ini terdapat beberapa lorong dan ruangan-ruangan. Tempat ini dulu dibangun Belanda awalnya untuk terowongan PLTA bengkok, namun melihat lokasinya yang tinggi dan terlindung, maka saat Perang Dunia II diubah menjadi stasiun radio telekomunikasi.
Sepanjang perjalanan saya disuguhkan dengan kesejukan pepohonan rindang yang cukup terawat dan tak henti-hentinya mulut ini berucap syukur.
Berhubung perut masih kosong, kami menyempatkan makan mie di warung yang berada di depan Goa Belanda, tepatnya berada di sebelah tugu yang bertuliskan "Goa Belanda", dan kemudian berfoto. Karena sahabat saya, Arini takut akan kegelapan dan hal-hal yang berbau mistis (Re:setan) maka kami memutuskan tidak masuk ke dalam Goa Belanda, kami hanya berfoto di luarannya saja.
Sehabis perut terisi kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun/Curug Omas. Curug Omas ini letaknya cukup jauh dari Goa Belanda, dengan menapaki jalanan sempit, cukup untuk satu motor, jalanannya yang terjal oleh bebatuan besar, dan karena musim hujan jadinya cukup licin, disarankan untuk sangat hati-hati. Apabila anda tidak membawa motor ke tempat ini, di sebelah Goa Belanda ada jasa ojeg ke curug ini. Harganya saya kurang tau, mungkin sekitar Rp 10.000-20.000. Namun demikian perjuangan kami tidak menjadikan kami kapok melewati jalanan ini, disepanjang mata memandang saya dihidangkan dengan keindahan hutan dan kesejukan udaranya. Subhanallah.. Hampir di setiap spot bagus kami tidak lupa berfoto, walau kamera yang kami bawa sangat terbatas (re:kamera hp) tapi trip tanpa foto adalah hoax.
Air terjunnya tidak tinggi dan tidak begitu indah, tapi deburan jatuhnya air cukup merasa kami memang dekat dengan gunung. Yang menurut saya indah di sekitar curug Omas adalah sekitar hutannya yang terurus dan hijau.
Setelah selesai menikmati hutan dan curug tersebut, kami kembali ke arah pulang, dengan melewati jalur yang sama. Kemudian di dekat gerbang pulang kami mampir ke tujuan terakhir kami, yaitu Goa Jepang. Katanya Goa ini didirikan pada tahun 1942. Disini kami mencoba memberanikan diri untuk masuk ke dalamnya. Lantai dan dindingnya masih kasar, agak lembab dan tidak ada penerangan, sehingga perlu disiapkan uang sebesar Rp 3.000 untuk menyewa senter dan menyewa guide seharga Rp 10.000-20.000. Tapi berhubung guide yang kami temui baik, aa ini mau kami bayar berapa pun, bahkan dia menawarkan jasa gratis, tapi kami juga punya hati dan kami memberi beliau uang sebesar Rp 10.000. Ada empat pintu besar di goa ini, terhubung dengan beberapa goa kecil yang berfungsi sebagai ventilasi. Konon menurut guide goa ini dibuat untuk tentara Jepang agar bisa bersembunyi dari tentara Belanda ketika Jepang merebut Indonesia dari jajahan Belanda. Dan berdasarkan cerita, goa ini dibangun oleh bangsa Indonesia melalui romusha, yaitu kerja paksa. Di dalam goa ini terdapat empat buah kamar yang dulunya dipakai istirahat panglima tentara Jepang.
Setelah waktu sudah sore dan artinya kami harus cepat-cepat pulang sebelum hujan, kami memutuskan untuk pulang, di perjalanan, sekitar jalan Dago hujan lebat pun mengguyur kami, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti berteduh di bawah jembatan layang sampai hujan reda. Setelah hujan reda, sekitar setengah jam kemudian kami melanjutkan perjalanan kami ke jalan Merdeka, tujuannya untuk cari makan. Kami memutuskan untuk makan di Pujeasera Merdeka, tempat makan favorit kami setiap ketemu, karena selain murah, rasanya pun tidak murahan (re:enak dan lezat). Dan menu favorit saya di tempat ini adalah Chicken Steak yang harganya cuma Rp 10.500. Murah kaaan??? hehehe
Hari ketiga saya rencanakan untuk pergi ke Gunung Tangkuban Perahu, tempat kedua yang belum pernah saya kunjungi padahal 3 tahun tinggal di Bandung. *payaaah
Setelah memaksakan diri mandi, saking dinginnya, sekitar pukul 10 pagi saya berangkat dari Sarijadi (rumah Arien) menjemput pacar saya (sekarang sudah mantan), Daniel yang sedang menginap di kosan sahabatnya yang ada di Jl Tubagus Ismail. Kebetulan di orang Tasik dan motornya dicuri, jadi saya sengaja bawa motor dari rumah agar bisa nge-trip di Bandung.
Sekitar pukul 11.30 lewat kami sampai juga di Gunung Tangkuban Perahu. Perjalanannya cukup jauh sekitar 20 KM ke arah utara kota Bandung, melewati Setia Budi, Lembang, dan letaknya di desar Cikole sebelum Ciater - Subang. Disana curah hujannya sangat tinggi dan sangat dingin sekali, sekitar 17 derajat karena keberadaannya di daratan tinggi 2.084 meter. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan pemandangan hutan hujan tropis dengan hamparan hijaunya kebun teh dan juga barisan pohon-pohon pinus membuat pikiran menjadi fresh, ditambah udaranya yang sangat sejuk. Gunung Tangkuban Perahu merupakan gunung merapi yang masih aktif hingga sekarang, jadi tidak salah apabila masih terdengar bunyi letupan-letupan dari kawahnya. Kawah-kawah itu mengeluarkan asap belerang yang menguap keluar dari sela-sela bebatuan yang berada di bagian bawah kawah itu.
Setibanya disana kami diharuskan membayar tiket masuk sebesar Rp 17.000/orang dan untuk biaya parkir motor sebesar Rp 2.000/motor. Tiket yang lumayan mahal menurut saya. Tempat parkirnya cukup luas dan di sekitarnya banyak warung yang berjualan makan, minum, dan oleh-oleh. Selain itu juga ada mushola dan toilet yang cukup besar.
Saya tidak lama di tempat ini karena hujan yang kadang turun semenjak saya sampai, tapi tidak membuat saya tidak menikmati tempat ini. Di sela-sela hujan reda saya menyempatkan diri untuk mengeksplor tempat ini, dari bagian atas sampai bagian bawah. Sungguh menakjubkan, karena ini pertama kalinya saya kesini.
Masih ingat dengan legenda terbentuknya Gunung Merapi Tangkuban Perahu ini? Kisah cinta antara ibu dan anaknya, yaitu Antara Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Percaya atau tidak akan mitos ini, tapi legenda tersebut membuat gunung ini semakin di kenal oleh masyarakat domestik, jadi yang terpenting adalah mitos tersebut menjadi sarana untuk mempromosikan keindahan gunung ini. Itu yang paling penting, hehehe..
Sekitar pukul 15:30 saya sampai di Bandung, berhubung lapar karena belum sempat makan, saya dan Daniel berwisata kuliner ke daerah Dipatiukur (DU), dan di sana kami menemukan sebuah tempat makan, mpek-mpek Palembang yang sangat enak. Dengan porsinya yang mengenyangkan dan rasanya maknyos harganya pun cukup murah hanya Rp 7.000/porsi untuk mpek-mpek bulat dan kapal selam.
Setelah selesai makan, saya mengantarkan Daniel ke rumah temannya, dan saya melanjutkan perjalanan saya ke rumah sahabat saya, Yuzdika di Cimahi, tepatnya di Cipageran. Ini untuk pertama kalinya saya berkunjung ke rumah barunya sahabat saya ini. Jujur saya sangat suka dengan rumahnya, selain karena lokasinya yang jauh dari polusi dan macetnya kota Cimahi, juga karena letaknya yang dekat dengan Mesjid, juga karena arsitekturnya yang membuat saya terpukau melihatnya. Setelah hujan berhenti, saya diajak oleh Dika untuk berkuliner malam itu bersama adik dan kakak-kakaknya. Kuliner itu dilakukan di sekitar kota Cimahi. Berhubung usus saya tidak muat diisi banyak, kali itu saya hanya memesan roti pisang coklat keju bakar saja serta es teh manis seharga Rp 8.000 dan Rp 3.000.
Keesokan paginya, hari terakhir berlibur, saya diajak Dika ke rumah sahabat kami, Ez, disekitar jalan Pesantren. Melewati gang-gang kecil akhirnya kami sampai di rumah Ez. Tanpa disangka-sangka dan diduga-duga sahabat kami itu ternyata hari itu akan dilamar oleh pacarnya, Heri. Dan seperti kejatuhan duren, kami pun "dipaksa" untuk makan. Perut belum terisi disuruh makan, jelas-jelas kami tidak menolak. Hehehe :">
Setelah perut kenyang dan puas saling cerita (re:bully) dengan sangat terpaksa saya mengajak Dika untuk segera pulang, karena Daniel menunggu saya untuk mengantarkan saya pulang ke Cianjur-Jakarta.
Sekitar pukul 11 siang saya dan Daniel pulang ke Cianjur, tapi perjalanan kami tidak mulus, ada operasi besar-besaran di sekitar gunung kapur, dan saat itu kami ditilang karena belum membayar pajak hampir setahun (saya pun baru tau kalo saya belum membayar pajak. Maklum sudah selama bekerja motor saya ditinggal di rumah dan STNK nya selalu saya simpan di dompet). Akibat hal itu, misi saya membawa motor saya ke Jakarta pun lenyap, dan sangat terpaksa saya harus meminta tolong kakak saya untuk membayar pajak STNK motor saya. Karena bekerja, jadi saya tidak bisa mengurusnya sendiri. Sekitar pukul 12:30 kami sampai rumah. Daniel kembali lagi ke Bandung dengan bus setelah selesai shalat dan ngobrol dengan tante saya, saya pun beristirahat. Karena keesokan harinya, tepatnya pukul 03:30 subuh saya harus berangkat lagi ke Ibukota, Jakarta.
Berakhir sudah advanture saya pada long weekend waktu itu. Perjalanan panjang Jakarta-Cianjur-Bandung-Jakarta yang sangat menyenangkan itu selalu menjadi trip yang tidak bisa saya lupakan. :)
Dari Jakarta saya tidak langsung menuju ke Bandung pada saat itu, Rabu malam setelah pulang kerja saya langsung pulang ke kota dimana saya dilahirkan, yaitu yang terkenal dengan kota Beras atau Tauco. Yup! Cianjur, kota kecil yang saya cintai ini.
Keesokan siangnya setelah mandi, sarapan, dan sedikit bingung berpamitan karena harus berangkat lagi ke Bandung padahal baru beberapa jam di rumah yang cuma numpang tidur, makan, dan mandi. Walau sedikit dilarang, akhirnya dengan alasan harus ke Bandung karena ada acara arisan bersama teman-teman kuliah, akhirnya diijinkan.
Perjalanan dari rumah ke Bandung ditempuh hanya dengan waktu 1,5 jam dengan mengendarai motor Mio biru kesayangan saya (apabila mengendarai mobil dengan tujuan tol Pasteur bahkan lebih cepat waktu tempuhnya).
Hari pertama saya di Bandung saya habiskan untuk acara arisan bersama sahabat-sahabat saya sampai larut malam. Kebiasaan ini selalu terjadi semenjak kami kuliah dulu. Arisan itu diadakan di Cafe Siete yang beralamat di Jl Sumur Bandung. Tempatnya sangat bagus untuk foto-foto dan nyaman, harganya pun cukup standar untuk sekelas Cafe ini (maklum sebelumnya pernah mengadakan arisan di Restaurant Sierra Dago Bandung yang harganya 2 kali lipat dibanding dengan cafe ini. Gokiiiil karena panitianya saya sendiri, hahaha!). Kebanyakan dari kami memilih menu steak dan chocolate float dan total harganya sekitar 850ribu untuk 12 orang. Cukup murah dan bikin kenyang menurut saya. Tapi yang paling istimewa adalah tempatnya cocok dijadikan tempat berfoto ria. Ya ya tujuan arisan kami kan selain bersilaturahim juga berfoto-foto, always every where, hehehe.. Setelah puas berfoto ria, ngocok arisan, bercengkrama, dan makan kami melanjutkannya dengan berkaraoke ria di Dapla (Dago Plaza).
Nih dia sebagian foto-fotonya :
Dibatasi oleh waktu yang menunjukan pukul 11 malam, akhirnya kami pun pulang. Malam itu saya menginap di rumah Arien, adik kelas kuliah yang sudah saya anggap adik saya sendiri, sudah kenal dengan keluarganya dan sudah seperti keluarga sendiri.
Hari kedua saya rencanakan untuk pergi ke Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda (Tahura) atau lebih terkenal dengan nama Dago Pakar bersama sahabat sekaligus Soulmate saya, Arini Rusya. Dan dengan sangat sadar ini adalah kesalahan kostum berpakaian bagi kami. Ada beberapa tempat yang bisa kita nikmati di Dago Pakar ini, diantaranya adalah Goa Jepang, Goa Belanda, Curug Omas, dan Relevasi taman hutannya.
Saya berangkat sekitar pukul 09:00 pagi dan janjian ketemuan di depan Mall Tirtasari, saya dari Sarijadi dan Arini dari Sukajadi. Melewati Pasteur ke arah Dago atas akhirnya sekitar 30 menit kemudian kami sampai di Dago Pakar. Untuk menikmati Taman Hutan Raya itu kami harus membayar tiket sebesar Rp 17.000/orang ditambah Rp 5.000 untuk parkir motor. Dan itu cukup mahal menurut saya, entah itu memang masuk ke kas negara atau ke kantong petugas-petugasnya. Mudah-mudahan ke kas negara ya :D
Memasuki gerbang tempat pertama yang saya kunjungi adalah Goa Belanda yang letaknya lebih dalam, sekitar 400m dari Goa Jepang. Goa ini didirikan pada tahun 1941. Di dalam gua ini terdapat beberapa lorong dan ruangan-ruangan. Tempat ini dulu dibangun Belanda awalnya untuk terowongan PLTA bengkok, namun melihat lokasinya yang tinggi dan terlindung, maka saat Perang Dunia II diubah menjadi stasiun radio telekomunikasi.
Sepanjang perjalanan saya disuguhkan dengan kesejukan pepohonan rindang yang cukup terawat dan tak henti-hentinya mulut ini berucap syukur.
Berhubung perut masih kosong, kami menyempatkan makan mie di warung yang berada di depan Goa Belanda, tepatnya berada di sebelah tugu yang bertuliskan "Goa Belanda", dan kemudian berfoto. Karena sahabat saya, Arini takut akan kegelapan dan hal-hal yang berbau mistis (Re:setan) maka kami memutuskan tidak masuk ke dalam Goa Belanda, kami hanya berfoto di luarannya saja.
Sehabis perut terisi kami melanjutkan perjalanan menuju Air Terjun/Curug Omas. Curug Omas ini letaknya cukup jauh dari Goa Belanda, dengan menapaki jalanan sempit, cukup untuk satu motor, jalanannya yang terjal oleh bebatuan besar, dan karena musim hujan jadinya cukup licin, disarankan untuk sangat hati-hati. Apabila anda tidak membawa motor ke tempat ini, di sebelah Goa Belanda ada jasa ojeg ke curug ini. Harganya saya kurang tau, mungkin sekitar Rp 10.000-20.000. Namun demikian perjuangan kami tidak menjadikan kami kapok melewati jalanan ini, disepanjang mata memandang saya dihidangkan dengan keindahan hutan dan kesejukan udaranya. Subhanallah.. Hampir di setiap spot bagus kami tidak lupa berfoto, walau kamera yang kami bawa sangat terbatas (re:kamera hp) tapi trip tanpa foto adalah hoax.
Air terjunnya tidak tinggi dan tidak begitu indah, tapi deburan jatuhnya air cukup merasa kami memang dekat dengan gunung. Yang menurut saya indah di sekitar curug Omas adalah sekitar hutannya yang terurus dan hijau.
Setelah selesai menikmati hutan dan curug tersebut, kami kembali ke arah pulang, dengan melewati jalur yang sama. Kemudian di dekat gerbang pulang kami mampir ke tujuan terakhir kami, yaitu Goa Jepang. Katanya Goa ini didirikan pada tahun 1942. Disini kami mencoba memberanikan diri untuk masuk ke dalamnya. Lantai dan dindingnya masih kasar, agak lembab dan tidak ada penerangan, sehingga perlu disiapkan uang sebesar Rp 3.000 untuk menyewa senter dan menyewa guide seharga Rp 10.000-20.000. Tapi berhubung guide yang kami temui baik, aa ini mau kami bayar berapa pun, bahkan dia menawarkan jasa gratis, tapi kami juga punya hati dan kami memberi beliau uang sebesar Rp 10.000. Ada empat pintu besar di goa ini, terhubung dengan beberapa goa kecil yang berfungsi sebagai ventilasi. Konon menurut guide goa ini dibuat untuk tentara Jepang agar bisa bersembunyi dari tentara Belanda ketika Jepang merebut Indonesia dari jajahan Belanda. Dan berdasarkan cerita, goa ini dibangun oleh bangsa Indonesia melalui romusha, yaitu kerja paksa. Di dalam goa ini terdapat empat buah kamar yang dulunya dipakai istirahat panglima tentara Jepang.
Setelah waktu sudah sore dan artinya kami harus cepat-cepat pulang sebelum hujan, kami memutuskan untuk pulang, di perjalanan, sekitar jalan Dago hujan lebat pun mengguyur kami, akhirnya kami memutuskan untuk berhenti berteduh di bawah jembatan layang sampai hujan reda. Setelah hujan reda, sekitar setengah jam kemudian kami melanjutkan perjalanan kami ke jalan Merdeka, tujuannya untuk cari makan. Kami memutuskan untuk makan di Pujeasera Merdeka, tempat makan favorit kami setiap ketemu, karena selain murah, rasanya pun tidak murahan (re:enak dan lezat). Dan menu favorit saya di tempat ini adalah Chicken Steak yang harganya cuma Rp 10.500. Murah kaaan??? hehehe
Hari ketiga saya rencanakan untuk pergi ke Gunung Tangkuban Perahu, tempat kedua yang belum pernah saya kunjungi padahal 3 tahun tinggal di Bandung. *payaaah
Setelah memaksakan diri mandi, saking dinginnya, sekitar pukul 10 pagi saya berangkat dari Sarijadi (rumah Arien) menjemput pacar saya (sekarang sudah mantan), Daniel yang sedang menginap di kosan sahabatnya yang ada di Jl Tubagus Ismail. Kebetulan di orang Tasik dan motornya dicuri, jadi saya sengaja bawa motor dari rumah agar bisa nge-trip di Bandung.
Sekitar pukul 11.30 lewat kami sampai juga di Gunung Tangkuban Perahu. Perjalanannya cukup jauh sekitar 20 KM ke arah utara kota Bandung, melewati Setia Budi, Lembang, dan letaknya di desar Cikole sebelum Ciater - Subang. Disana curah hujannya sangat tinggi dan sangat dingin sekali, sekitar 17 derajat karena keberadaannya di daratan tinggi 2.084 meter. Sepanjang perjalanan kami disuguhkan dengan pemandangan hutan hujan tropis dengan hamparan hijaunya kebun teh dan juga barisan pohon-pohon pinus membuat pikiran menjadi fresh, ditambah udaranya yang sangat sejuk. Gunung Tangkuban Perahu merupakan gunung merapi yang masih aktif hingga sekarang, jadi tidak salah apabila masih terdengar bunyi letupan-letupan dari kawahnya. Kawah-kawah itu mengeluarkan asap belerang yang menguap keluar dari sela-sela bebatuan yang berada di bagian bawah kawah itu.
Setibanya disana kami diharuskan membayar tiket masuk sebesar Rp 17.000/orang dan untuk biaya parkir motor sebesar Rp 2.000/motor. Tiket yang lumayan mahal menurut saya. Tempat parkirnya cukup luas dan di sekitarnya banyak warung yang berjualan makan, minum, dan oleh-oleh. Selain itu juga ada mushola dan toilet yang cukup besar.
Saya tidak lama di tempat ini karena hujan yang kadang turun semenjak saya sampai, tapi tidak membuat saya tidak menikmati tempat ini. Di sela-sela hujan reda saya menyempatkan diri untuk mengeksplor tempat ini, dari bagian atas sampai bagian bawah. Sungguh menakjubkan, karena ini pertama kalinya saya kesini.
Masih ingat dengan legenda terbentuknya Gunung Merapi Tangkuban Perahu ini? Kisah cinta antara ibu dan anaknya, yaitu Antara Dayang Sumbi dan Sangkuriang. Percaya atau tidak akan mitos ini, tapi legenda tersebut membuat gunung ini semakin di kenal oleh masyarakat domestik, jadi yang terpenting adalah mitos tersebut menjadi sarana untuk mempromosikan keindahan gunung ini. Itu yang paling penting, hehehe..
Sekitar pukul 15:30 saya sampai di Bandung, berhubung lapar karena belum sempat makan, saya dan Daniel berwisata kuliner ke daerah Dipatiukur (DU), dan di sana kami menemukan sebuah tempat makan, mpek-mpek Palembang yang sangat enak. Dengan porsinya yang mengenyangkan dan rasanya maknyos harganya pun cukup murah hanya Rp 7.000/porsi untuk mpek-mpek bulat dan kapal selam.
Setelah selesai makan, saya mengantarkan Daniel ke rumah temannya, dan saya melanjutkan perjalanan saya ke rumah sahabat saya, Yuzdika di Cimahi, tepatnya di Cipageran. Ini untuk pertama kalinya saya berkunjung ke rumah barunya sahabat saya ini. Jujur saya sangat suka dengan rumahnya, selain karena lokasinya yang jauh dari polusi dan macetnya kota Cimahi, juga karena letaknya yang dekat dengan Mesjid, juga karena arsitekturnya yang membuat saya terpukau melihatnya. Setelah hujan berhenti, saya diajak oleh Dika untuk berkuliner malam itu bersama adik dan kakak-kakaknya. Kuliner itu dilakukan di sekitar kota Cimahi. Berhubung usus saya tidak muat diisi banyak, kali itu saya hanya memesan roti pisang coklat keju bakar saja serta es teh manis seharga Rp 8.000 dan Rp 3.000.
Keesokan paginya, hari terakhir berlibur, saya diajak Dika ke rumah sahabat kami, Ez, disekitar jalan Pesantren. Melewati gang-gang kecil akhirnya kami sampai di rumah Ez. Tanpa disangka-sangka dan diduga-duga sahabat kami itu ternyata hari itu akan dilamar oleh pacarnya, Heri. Dan seperti kejatuhan duren, kami pun "dipaksa" untuk makan. Perut belum terisi disuruh makan, jelas-jelas kami tidak menolak. Hehehe :">
Setelah perut kenyang dan puas saling cerita (re:bully) dengan sangat terpaksa saya mengajak Dika untuk segera pulang, karena Daniel menunggu saya untuk mengantarkan saya pulang ke Cianjur-Jakarta.
Sekitar pukul 11 siang saya dan Daniel pulang ke Cianjur, tapi perjalanan kami tidak mulus, ada operasi besar-besaran di sekitar gunung kapur, dan saat itu kami ditilang karena belum membayar pajak hampir setahun (saya pun baru tau kalo saya belum membayar pajak. Maklum sudah selama bekerja motor saya ditinggal di rumah dan STNK nya selalu saya simpan di dompet). Akibat hal itu, misi saya membawa motor saya ke Jakarta pun lenyap, dan sangat terpaksa saya harus meminta tolong kakak saya untuk membayar pajak STNK motor saya. Karena bekerja, jadi saya tidak bisa mengurusnya sendiri. Sekitar pukul 12:30 kami sampai rumah. Daniel kembali lagi ke Bandung dengan bus setelah selesai shalat dan ngobrol dengan tante saya, saya pun beristirahat. Karena keesokan harinya, tepatnya pukul 03:30 subuh saya harus berangkat lagi ke Ibukota, Jakarta.
Berakhir sudah advanture saya pada long weekend waktu itu. Perjalanan panjang Jakarta-Cianjur-Bandung-Jakarta yang sangat menyenangkan itu selalu menjadi trip yang tidak bisa saya lupakan. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar